Recents in Beach

Peranan e-Government dan Media Sosial untuk Mewujudkan Budaya Transparansi dan Pemberantasan Korupsi


PAPER ETIKA PROFESI
Peranan e-Government dan Media Sosial untuk Mewujudkan Budaya  Transparansi dan Pemberantasan Korupsi 203 Volume 3 Nomor 2 - Desember 2017

Markus H. Simarmata
Ditjen HAM, Kementerian Hukum dan HAM
markussimarmata09@gmail.com
p-ISSN : 2477-118X

Pendahuluan
Pada saat ini, pemerintah Indonesia telah melaksanakan tugasnya untuk meningkatkan transparansi publik. Dampak peraturan perundang-undangan keterbukaan informasi publik sangat besar untuk meningkatkan kinerja pemerintah Indonesia dalam menanggapi tuntutan penduduk dan warga negaranya serta mengawasi penggunaan dana publik yang sesuai dengan peruntukannya untuk mencegah dan menindak tindak pidana korupsi. Disamping itu upaya pemerintah untuk mensosialisasikan ketentuan UU ITE juga belum cukup untuk menumbuhkan kesadaran pada masyarakat sebagai pengguna Informasi Teknologi dan Media Sosial yang cerdas. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis sangat tertarik untuk menganalisis penelitian tentang Peran e-Government dan Media Sosial Untuk Mewujudkan Budaya Transparansi dan Pemberantasan Korupsi

Rumusan Masalah
Dengan menganalisis uraian pada latar belakang maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut:
1     Bagaimanakah ketentuan UU No. 19 Tahun 2016 yang belum optimal mengatur kebebasan berpendapat dan berekspresi dengan menggunakan informasi teknologi untuk mewujudkan transparansi dan pemberantasan korupsi?
2     Bagaimanakah ketentuan UU No. 19 Tahun 2016 yang mengatur tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam menggunakan media sosial untuk mewujudkan transparansi dan pemberantasan korupsi?

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu:
1     Untuk memahami ketentuan UU No. 19 Tahun 2016 yang belum optimal mengatur kebebasan berpendapat dan berekspresi dengan menggunakan informasi teknologi untuk mewujudkan transparansi dan pemberantasan korupsi.
2     Untuk memahami ketentuan UU No. 19 Tahun 2016 yang mengatur tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam menggunakan media sosial untuk mewujudkan transparansi dan pemberantasan korupsi.

Tinjauan Teoritis
1     korupsi
korupsi yaitu suatu perbuatan dari setiap orang yang menggunakan jabatan publik dengan sengaja secara melawan hukum bertujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang mengakibatkan kerugian sumber daya negara dan/atau keuangan negara dan/atau perekonomian negara.
2     E-Government
e-government yaitu aplikasi teknologi informasi dan komunikasi yang berbasis internet dan perangkat digital lainnya yang dikelola oleh pemerintah untuk keperluan penyampaian informasi dari  pemerintah ke masyarakat, mitra bisnis, pegawai, badan usaha, dan lembaga-lembaga lainnya atau sebaliknya secara online yang bertujuan membantu mengoptimalisasi pelayanan pada masyarakat, meningkatkan interaksi dengan bisnis dan industri, dan menyediakan akses pada informasi.   
3     Media Sosial
Media Sosial dapat didefinisikan sebagai suatu sarana yang terdiri dari berbagai bentuk-bentuk media online yang bercirikan terdapatnya partisipasi penggunanya, keterbukaan terhadap substansi masalah, percakapan dua arah, komunitas yang memiliki kepentingan sama, dan keterhubungan terhadap situs, sumber daya dan orang.    
4     Penyajian Data Metode
Penyajian Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif karena dalam penelitian ini hanya mengkaji tentang peranan e-Government dan media sosial untuk mewujudkan budaya transparansi dan pemberantasan korupsi. Berdasarkan gejala tersebut penulis dapat menentukan variabel yang akan diteliti yang terdiri dari peranan e-Governement, peranan media sosial, perwujudan budaya transparansi dan pemberantasan korupsi.
5     Sumber Penelitian
Sumber penelitian  Dilihat dari kedekatan isi, penelitian literatur dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, sumber primer adalah karangan asli yang ditulis oleh seorang yang melihat, mengalami, atau megerjakan sendiri, contohnya buku harian, tesis, disertasi, laporan penelitian, hasil wawancara, laporan pandangan mata suatu pertandingan, statistik sensus penduduk dan lain-lain. Kedua, sumber sekunder adalah tulisan tentang penelitian orang lain, tinjauan, ringkasan, kritikan, dan tulisan-tulisan serupa mengenai hal-hal yang tidak langsung disaksikan atau dialami sendiri oleh penulis, contohnya ensiklopedia, kamus, buku, pegangan, abstrak, indeks, dan textbook.

Pembahasan
Pembahasan Kaufman berpendapat “Semua hal yang terkait dengan kebebasan berpendapat memiliki efek yang lebih besar terhadap korupsi dan kualitas pelayanan daripada reformasi institusional”. (Kaufmann, et.al, 2010).    Jika dikaji secara mendalam maka sesungguhnya perubahan UU ITE No. 19 Tahun 2016 hanya melakukan revisi terhadap 8 (delapan) ketentuan UU ITE No. 11 Tahun 2008. Namun semua revisi tersebut merupakan fundamen bagi implementasi kebebesan berpendapat di Indonesia. Disamping itu dengan menganalisis pasal demi pasal dapat diketahui bahwa pemberlakuan UU ini bertujuan untuk menyesuaikan dengan dinamika teknologi dan memberikan kepastian hukum dan perlakuan yang adil bagi para pengguna ITE.
Ketentuan UU No. 19 Tahun 2016 yang belum optimal mengatur kebebasan berpendapat menggunakan informasi teknologi untuk mewujudkan transparansi dan pemberantasan korupsi  Terdapat 3 perubahan dalam UU ITE yang belum optimal mengatur kebebasan berpendapat dan berekspresi dengan menggunakan informasi teknologi untuk mewjudukan transparansi dan pemberantasan korupsi, yaitu:
Penerapan hak untuk dilupakan/dihapus (Right to be Forgotten) Pasal 26 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 mengamanatkan agar: “Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan”.
Ketentuan yang mengatur kebebasan berpendapat untuk transparansi dan pemberantasan korupsi Media sosial yang berbasiskan teknologi informasi dan komunikasi dapat diakses dengan mudah, murah dan menjangkau sangat banyak pengguna. Bila dibandingkan dengan media konvensional maka media sosial lebih efektif dalam menumbuhkan jiwa anti korupsi, mencegah pejabat dan pelaku usaha untuk melakukan korupsi dan menjadi alat bukti melalui video yang berisikan tindak pidana korupsi yang viral di kalangan netizen untuk segera diselidiki dan ditindak oleh aparat penegak hukum. Menteri Kehakiman Brazil merupakan satu contoh keberhasilan penggunaan data media sosial dan bentuk data lainnya untuk mengidentifikasi korupsi dan kejahatan  terorganisasi lainnya seperti perdagangan narkoba,

Kesimpulan
1     Regulasi yang Belum Optimal Mendorong Kebebasan Berpendapat. Akibatnya pengguna e-Government dan media sosial merasa khawatir terhadap pendapat atau ekspresi yang mereka sampaikan yang dapat dijerat dengan Pasal pencemaran nama baik tersebut. Selain itu masih terdapat ketentuan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada penyelenggara sistem elektronik terhadap informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
2     Rendahnya Pemahaman Terhadap e-Government dan Media Sosial. Kebebasan berpendapat dan berekspresi melalaui e-Government dan media sosial untuk mewujudkan transparansi dan mencegah serta menindak perbuatan korupsi bukan berarti kebebasan tersebut tanpa batas sehingga dapat melanggar hukum dan membatasi hak orang lain. Pengguna e-Government dan media sosial pada saat mengemukakan pendapat jangan sampai terlanjur mengirim informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak membatasi dengan tegas mana saja informasi atau data yang memuat peristiwa yang berdasarkan intuisi atau perasaan hati saja dan mana informasi/ data yang memuat peristiwa yang berdasarkan fakta yang benarbenar terjadi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.



AYU ERLINA
MI A
B15042

Posting Komentar

0 Komentar

Disqus Shortname

designcart

Comments system

[blogger][disqus][facebook]